MAKSIMALKAN POTENSI SUMBANGKAN KONTRIBUSI


MAKSIMALKAN POTENSI SUMBANGKAN KONTRIBUSI 

Sejarah dipenuhi catatan para ulama dengan puluhan karya berupa kitab-kitab tebal. Hasil karya yang memberikan kontribusi abadi bagi kemajuan Islam. Begitulah, sejarah tak lain adalah kisah-kisah orang besar, history is tale of the great men, kata orang barat. Mereka menjadi besar karena kontribusi yang telah diberikan kepada Islam. Nah, bagaimana dengan kita? Sumbangan apa yang bisa kita berikan untuk kemajuan umat ini? bisakah kita? 

Tentu saja bisa. Dan tentu saja bentuknya tidak harus berupa karya tulis. Sebuah kemajuan membutuhkan unsur-unsur yang sangat kompleks, memungkinkan kita untuk turut ambil bagian di dalamnya. Tergantung potensi yang kita miliki ada dalam bidang apa. Potensi itulah yang harus digali, di optimalkan dan diwujudkan dalam bentuk yang sesempurna mungkin. Dengannya, kita bisa mencari sendiri, apa yang bisa kita berikan untuk turut berkontribusi. 

Masing-masing kita diciptakan dengan membawa sebuah keunikan. Setiap jiwa, seperti kata Rasululiah, ibarat barang tambang yang memiliki unsur potensi sendiri-sendiri. Dalam hal positif, semua hebat dan luar biasa dalam keunikannya. Tidak hanya unsur emas saja yang berharga, minyak bumi dan cadas pun bisa membuat emas tak berharga tanpa kehadirannya. Tidak hanya para pemilik bakat menulis saja yang dapat memberi kontribusi dan dipilih sejarah untuk mengisi lembarannya, pemilik potensi yang lain pun bisa. 

Persis seperti mencari rezeki. Tidak selalunya harus jadi pegawai negeri. Sebuah pekerjaan yang menggiurkan banyak orang karena tingginya gaji dan adanya jaminan pensiunan. Kalau berjiwa bisnis dan bisa meledak di bidang niaga, mengapa harus terpasung dengan nominal gaji dari negara? Padahal dengan berdagang bisa menggaji diri sendiri, menentukan libur dan besaran THR sendiri. Soal jaminan, sebenarnya tidak ada yang mampu menjamin rezeki orang selain Allah. Pedagang juga bisa mendapat pensiunan dari investasi, bahkan jumlahnya lebih tinggi. 

Saat ditanya seorang wartawan, mengapa tidak menulis buku? Syaikh Hasan al Banna menjawab, “Saya tidak ingin menulis buku, saya ingin mencetak manusia.” Unsur potensi beliau memang bukan ta'liful kutub atau menulis buku, tapi ta'liful qulub, menyatukan hati manusia. Benar saja, ketika potensi ini diledakkan, puluhan ribu jiwa menyatu dalam satu visi dalam usaha menegakkan agama Allah. Jangan tanya berapa kitab yang sudah beliau tulis, tapi lihatlah berapa kader muslim yang berubah menjadi militan dan siap menghadapi ganasnya perjuangan melalui jamaahnya. Terlepas dari segala kelebihan dan kekurangannya. 

Tapi Ibnu Khaldun sebaliknya. Setelah lama berkiprah di dunia politik serta kepemerintahan dan selalu gagal, beliau mencoba evaluasi diri. Beliau berhenti lalu mencoba merenungi pengalamannya lalu menuliskannya dalam sebuah buku. Lahirlah buku mengenai kaidah-kaidah tatanegara yang sangat terkenal “al Muqadimah". Karya fenomenal yang paling masyhur dalam bidang tatanegara dan konsep pernerintahan.Atau jika setelah digali dan ditemukan ada sekian potensi yang bisa dikembangkan, ledakkan saja semuanya. Kita pun akan menjadi manusia serba bisa yang luar biasa. Memberi kontribusi dalam setiap lini. 

Teladannya adalah Abdullah bin Mubarak. Seorang multi talent alias serba bisa yang lahir pada tahun 118 H. Ibarat gunung, beliau menyimpan lebih dari satu unsur tambang berharga dan mampu didulang seluruhnya. Selain seorang saudagar kaya yang gemar menggelontorkan dana untuk perjuangan, beliau sendiri juga seorang mujahid dan petempur ulung. Tenaga, waktu dan skill tempurnya juga disumbangkan untuk Islam. Luar biasanya lagi, beliau juga salah seorang ulama yang luas pengetahuan agamanya juga sangat ahli di bidang hadits. Para ulama lain menjulukinya “dokter” karena kemampuannya mengenali hadits. Salah satu ungkapannya dalam kapasitas sebagai ahli hadits yang masyhur hingga kini adalah “Sanad adalah bagian dari agama, kalaulah tidak ada sanad, manusia pasti bicara semaunya." Dan kata “Iuar biasa"harus ditulis lagi untuk memuji kepiawaian beliau dalam menulis. Adalah kitab “az Zuhd” menjadi karya tulis beliau yang abadi hingga kini. 

Maka mari, kenali diri dan gali potensi. Karena keunikan manusia, tidak ada cara yang paling valid untuk mengenalinya kecuali atas irsyadah dari Allah dan pengamatan masing-masing jiwa atas dirinya. Kita bisa belajar dengan berbagai cara. Tidak ada salahnya mencoba berbagai tes, seperti test otak, test kepribadian, pembelajaran skil dan lain sebagainya. Hanya saja, hendaknya kita jangan terlalu terpasung dengan arahan test-tes yang ada bahwa jika kita termasuk klasifikasi ini, maka kita hanya cocok melakukan ini dan ini. Kita makhluk yang bisa belajar dan berkembang. Jadikan semua itu sebagai sumber informasi dan yang lebih penting adalah keyakinan kepada diri sendiri. pari titik ini kita bisa menarik garis lurus dan menghubungkannya dengan cita-cita kita. Dan dengan permohonan bimbingan dari Allah, kita bisa memulai membuat peta, menggali dan menuai hasilnya. 

Sekali lagi keyakinan bahwa pasti ada yang kita miliki, ada yang bisa kita lakukan dengannya dan ada yang dapat kita berikan melaluinya, harus selalu tertanam dalam jiwa. Kalau sekarang kita kebingungan berada di mana dan mau apa, itu karena kita belum memulai memetakan diri. 

Bagi yang sudah mendapat titik terang, segeralah beraksi. Kalau memang yakin akan berkarya melalu tulisan, segeralah menulis. Biarkan Islam segera merasakan suntikan kekuatan melalui tulisan itu baik untuk menambah keindahan dan kemuliaanya, atau membentenginya dari serangan musuh durjana. Kalau menurut kita, ada potensi berniaga dalam jiwa, mulailah mencari cara agar dapat membuka usaha. Bekerja lebih cerdas agar dapat segera menuai hasilnya. Kontribusi dana pun dapat segera kita setorkan untuk perjuangan menegakkan agama, 

Dan semua itu memiliki roda bernama tekat dan kemauan. Sebesar apapun potensi dan kemampuan, tanpa kemauan, tidak akan ada pergerakan. Ayo, gali potensi diri, sumbangkan kontribusi dan raihlah ridha Hahi! Wallahul musta'an. 

 AKTIVASI POTENSI MENUJU KESUKSESAN DIRI 

Di manapun kita beraktivitas atau bekerja, seharusnya memberikan ruang agar seluruh potensi yang Allah berikan kepada kita bisa aktif dan berkembang. Ini sebagai wujud syukur kepada Dzat yang telah menganugerahkan segala nikmat. Sekaligus menjadi penentu seberapa sukses seseorang menjalani hidup. Karena kesuksesan seseorang tergantung seberapa besar potensi yang diaktifkan sesuai dengan fungsinya. Dan begitulah semestinya fitrah berjalan sesuai dengan reinya. Tak ada satu potensipun yang tidak bermanfaat dan tak ada satu anugerah dari Allah yang boleh disia-siakan. 

Menelantarkan sebagian fungsi atau menjadikannya pasif dan menganggur adalah kekufuran terhadap nikmat yang Allah berikan. Dan segala hal yang berjalan tidak sesuai dengan fitrahnya pasti akan rusak, bahkan merusak potensi yang lain. 

MENGAKTIFKAN AKAL PIKIRAN 

Allah telah memberikan potensi akal kepada manusia, anugerah yang menjadi pembeda utama antara manusia dan hewan. Semakin banyak akal 'menganggur', makin mendekatkan manusia pada karakter hewani, nas'alullahal 'aafiyah. Karenanya, Umar bin Khathab radhiallahu anhu berkata, “ashlur rajuli 'aqluhu, wa hasabuhu diinuhu, wa muruu'atuhu khuluquhu,” inti seseorang disebut manusia adalah karena akalnya, kehormatannya terletak pada agamanya, sedangkan kewibawaannya tergantung pada akhlaknya.

  Maka selayaknya kita menjalankan fungsi akal sebagaimana mestinya. Terus mengisinya dengan ilmu yang bermanfaat, baik di dunia maupun di akhirat. Nutrisi akal yang dengannya ia bisa berkembang adalah dengan menghayati ayat-ayat Allah berupa qur'aniyah dan kauniyah. Allah berfirman, 

"Dan Dia menundukkan malam dan siang, matahari dan bulan untukmu. dan bintang-bintang itu ditundukkan (untukmu) dengan perintah-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar ada tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berakal.” (QS an-Nahl: 12). 

Sisi istimewa dari akal adalah makin sering dipergunakan, kemampuannya semakin bertambah. Berbeda dengan barang-barang elektronik yang jika sering dipergunakan makin cepat mengalami penyusutan dan penurunan fungsi. Sebaliknya, akal yang dibiarkan menganggur akan cepat jumud, tumpul, dan pikun. Secara fungsi akan mengalami penyusutan secara drastis. 

Oleh karena itu, bertambahnya kesibukan maupun usia, tak boleh menjadi halangan untuk tetap belajar, membaca, menghafal, memahami maupun menganalisa hal-hal yang bermanfaat. Bahkan, kerja akal tidak layak berhenti, meski aktivitas jasad istirahat karena lelah. Saat kaki tak lagi kuat menyangga tubuh, saat mata terasa berat untuk membaca dan melihat. Seperti yang menjadi tekad Ibnu “Uqail Al-Hambali, “Tidak halal bagiku untuk menyia-nyiakan sesaat saja dari umurku, sehingga apabila lisan dan mataku telah lelah membaca dan berdiskusi, aku menggunakan pikiranku dalam keadaan berbaring diatas tempat tidur. Ketika bangkit, telah terlintas di benakku apa yang akan aku tulis."

 MENGAKTIFKAN HATI DAN JIWA 

Hati dan nafsu juga merupakan potensi yang harus diaktifkan secara benar. Pengangguran itu tak hanya berlaku bagi orang yang tidak merniliki pekerjaan secara fisik. Layak pula disebut pengangguran bagi Orang yang tidak mengaktifkan hati dan jiwanya untuk mencari dan merasai kenikmatan iman. Sebab, tanpanya hati tidak berguna. Kemana hati harus aktif bekerja dan mencari nutrisi yang bermanfaat? Abdullah bin Mas'ud memberikan jawaban,, "Carilah hatimu di tiga keadaan: saat mendengarkan al-Qur'an, saat berada di majelis ilmu dan saat menyendiri bermunajat kepada Allah. Jika kamu tidak mendapatkan hatimu di sana, mohonlah kepada Allah untuk memberikan hati untukmu karena kamu tidak memiliki hati." 

Eksistensi hati dikatakan ada tatkala ia bisa menikmati lezatnya nutrisi imani. la merespon bacaan dan arahan al-qur'an, merasa haus akan ilmu yang menunjukkan cara mendekatkan diri kepada Pencipta. Ia juga merasakan hadirnya ketentraman dan kesyahduan saat bermunajat kepada Allah. Jika tanda-tanda itu sama sekali tidak ada maka hati tidak menunjukkan tanda-tanda kehidupan. Orang yang memiliki hati demikian seakan hidup tanpa memiliki hati. Wajar jika Ibnu Mas'ud radhiyallahu 'anhu menyarankan kepadanya agar ia memohon kepada Allah untuk memberikan hati yang baru kepadanya. Seharusnya kita senantiasa membawa hati kepada hal-hal yang bisa membuatnya hidup sehat. 

Begitupula dengan nafsu. Hendaknya secara sengaja dan aktif dikendalikan menuju perkara-perkara yang diridhai oleh Allah. Bukan dibiarkan bergentayangan sesuai dengan kehendaknya. Karena nafsu | Itu, Seperti yang dikatakan sahabat Salman al-Farisi, "Jika tidak disibukkan dengan ketaatan, ia akan menyibukkan dirimu dengan kemaksiatan.” 

Ketika akal, hati, dan jiwa telah aktif di jalan yang seharusnya, jasadpun akan bergerak. Anggota badan itulah yang akan merampungkan capaian tujuan secara fisik. Kaki dengan gagah akan melangkah, tangan dengan cekatan akan berkarya, mata akan sibuk membaca, menelaah, dan mencari hal-hal yang berfaedah, dan telinga akan aktif mendengarkan hal-hal yang bermanfaat. Jika semua potensi berjalan maka kesuksesan paripurna akan berhasil diraih. 

Wallahu a'lam. 

ASHLUR RAJULI AQLUHU, WA 

HASABUHU DIINUHU, WA MURUU'ATUHU KHULUQUHU, INTI SESEORANG DISEBUT MANUSIA ADALAH KARENA AKALNYA, KEHORMATANNYA TERLETAK PADA AGAMANYA, SEDANGKAN KEWIBAWAANNYA TERGANTUNG PADA AKHLAKNYA.

●  DIKUTIP DARI BUKU MUSLIM HEBAT KARYA USTADZ ABU UMAR ABDILLAH

Komentar

Postingan populer dari blog ini

LEUKIMIA DIDEPAN MATA (BAG.3)

GADGET DAN ANAK MUDA (BAG.2)

PENGARUH MAKANAN TIDAK SEHAT (BAG.2)