MENAKAR OBSESI MENGUKUR SEMANGAT DIRI

SEMANGAT TINGGI, TAPI RENDAH OBSESI
Tingginya obsesi tak hanya diukur dari gerakan yang gesit dan semangat yang melejit. Tapi yang lebih penting adalah, tujuan akhir dari prestasi, untuk siapa dipersembahkan, dan di manakah ia ingin menikmati hasil yang diharapkan.
Jika ada orangyang rajin menuntut ilmu, bersemangat untuk belajar namun semata-mata untuk memburu ijazah, atau finish di lapangan pekerjaan maka ia dari kalangan orang yang memiliki obsesi rendahan. Begitupun dengan orang yang belajar ilmu syar'i agar nampak hebat dalam berdebat, atau agar pandangan orang tertuju padanya sebagai orang hebat. Cita-citanya begitu remeh, sebagaimana remehnya citaCita orang kafir yang padahal mereka memiliki kapasitas pengetahuan, keterampilan dan dedikasi yang tinggi.
Dikatakan rendah, karena plafon cita-citanya hanyalah dunia semata, tidak lebih. Apakah berupa apresiasi dan pujian manusia, kekayaan dunia dan kemewahannya, atau kenikmatan syahwati yang remeh dan sangat sementara. Dan tak ada lagi hasil yang bisa dinikmati setelah matinya selain Justru berupa siksa dan penderitaan. Tapi, memang hanya sejauh itulah puncak ilmu yang mereka miliki. Allah berfirman,
“Maka berpalinglah (hai Muhammad) dari orang yang berpaling dari peringatan Kami, dan tidak mengingini kecuali kehidupan duniawi. Itulah sejauh-jauh pengetahuan mereka."
QS. An-Najm 29-30)
Adapun pemilik cita-cita yang tinggi, ia persembahkan seluruh prestasinya untuk menggapai ridha Allah. Dan obsesi terbesar yang ingin diraihnya adalah menggapai ridha Allah dan jannah-Nya. Karena, tak ada lagi capaian prestasi yang lebih tinggi dari itu. Prestasi yang akan dibalasi oleh Allah dengan sesuatu yang lebih dari yang ia bayangkan. Sebagaimana firman-Nya,
“Barang siapa yang menghendaki keuntungan di akhirat akan Kami tambah keuntungan itu baginya." (QS. asy-Syuura: 20).
Sekarang saatnya kita mengukur diri, sehebat apa obsesi kita dan Setinggi mana semangat kita untuk meraih kemuliaan.
BAKAT YANG TERKUBUR
Saya teringat beberapa teman di sekolah dahulu. Sebagian mereka membuat saya takjub karena kemampuan mereka dalam menghafal, memahami pelajaran, dan kecerdasan. Puluhan tahun berlalu dan tatkala Allah pertemukan kembali dengan mereka, serasa hilang 'kehebatan' yang dulu pernah mereka miliki.
Ada yang kondisi pengetahuannya relatif tak berkembang setelah sekian lama berselang. Bahkan tak jarang yang kecerdasannya justru menyusut, seakan potensi ilmunya terkubur tanpa bekas.
Tanpa sadar angan-angan penulis pun melambung, mengandaikan sekiranya dahulu si fulan itu mengoptimalkan potensi kecerdasan yang Allah anugerahkan kepada mereka. Teringat masa kecil Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, ketika seorang ulama dari Suriah sengaja datang ke Damaskus untuk melihat Ibnu Taimiyah kecil.
Setelah bertemu, ia memberikan tes dengan cara menyampaikan belasan matan hadits sekaligus. Ternyata Ibnu Taimiyah mampu menghafalkannya secara Cepat dan tepat. Begitu pula ketika disampaikan kepadanya beberapa sanad, ia pun dengan tepat pula mampu mengucapkan ulang dan menghafalnya, sehingga ulama tersebut berkata,
“Jika anak ini hidup hingga dewasa, niscaya ia kelak mempunyai kedudukan besar, sebab belum pernah ada Seorang bocah sepertinya." Prediksi itu benar. Beliau tumbuh menjadi ulama besar dan menjadi rujukan bagi kaum muslimin di zamannya dan sesudahnya.
Teringat juga masa kecil Imam Nawawi, yang telah tampak bibitbibit 'kehebatan-nya' sejak kecil. Ia dikenal sebagai anak yang cerdas dan tidak suka bermain. Pernah suatu ketika ia dipaksa bermain oleh teman-teman sebayanya, namun ia menolak dan menangis. la lebih suka menghafalkan Al-qur'an daripada memenuhi ajakan temantemannya. Ketika Syeikh Yasin bin Yusuf Az-Zarkasyi, salah satu ulama di zamannya memperhatikan keadaan an-Nawawi kecil ia pun mendatangi orang tuanya. la berpesan bahwa anak ini diharapkan akan menjadi orang paling pintar dan paling zuhud pada masanya dan bisa memberikan manfaat yang besar kepada umat Islam. Dan Allan takdirkan prediksi itu menjadi kenyataan.
Hal itu dikarenakan mereka menyambut potensi yang Allah berikan tersebut dengan rasa syukur. Mereka tindaklanjuti dengan memupuk ilmu, menyuburkannya, dan menempuh segala hal yang bisa menyebabkan ilmu berkembang dan berbuah. Seperti Imam anNawawi yang di masa mudanya menghadiri 12 majelis ilmu setiap harinya. Maka bertemulah antara bakat dengan tekad, melahirkan pengetahuan dan karya-karya amal yang menakjubkan.
Meskipun tidak sehebat Ibnu Taimiyah ataupun Imam an Nawawi, di kalangan barisan para penuntut ilmu syar'i, kita juga sering mendapatkan orang-orang yang dianugerahi kemampuan yang bagus, kecerdasan yang lebih, yang membuat mereka sebenarnya pantas mendapat kemuliaan ilmu. Hanya saja cita-cita mereka yang rendah menghancurkan anugerah tersebut, menghilangkan eloknya keunggulan mereka. Mereka merasa cukup dengan ilmu yang sedikit, tidak suka membaca dan menelaah, malas menghadiri majelis ilmu dan terkungkung oleh aktivitas yang tidak mendukung bertambahnya Pengetahuan maupun amal kebaikan. Akhirnya, bakat mereka terkubur.
Mereka layak untuk dikasihani, memiliki potensi besar, namun tidak mau mengembangkan potensi diri. Ini mengingatkan kita akan perkataan Al-Farra', “Tidaklah aku menaruh belas kasihan pada seseorang melebihi rasa belas kasihanku kepada dua orang: Seorang yang menuntut Ilmu, namun dia tidak mempunyai pemahaman, dan seorang yang paham tetapi tidak mencarinya. Dan aku sungguh heran dengan orang yang lapang untuk menuntut ilmu tetapi dia tidak belajar.” (Jami' Bayanil Ilmi Wa Fadhlihi, 1/103)
Adapun orang pertama, jika memang ia telah bersungguh sungguh mengusahakannya, tiada cela baginya. Karena ilmu adalah karunia Allah yang Dia berikan kepada siapapun yang Dia kehendaki. Bisa jadi Allah membuka pintu kebaikan untuknya dari sisi yang lain. Dan dia tetap mendapatkan pahala sesuai dengan jerih payahnya. Rasa kasihan terhadap tipe pertama ini hanya dari sisi kauniyah, yang bersifat alami. Kita merasa kasihan karena sudah bersungguh-sungguh mencari, namun belum mendapatkan. Tapi secara syar'i, ia sudah menjalankan kewajiban, jerih payahnya tetap terpuji.
Yang paling disayangkan adalah tipe orang kedua. Orang yang telah diberi potensi lebih oleh Allah, namun ia sia-siakan begitu saja. Betapa cepatnya mereka melepaskan potensi ini dan menghilangkan berkah waktu-waktu mereka. Hal itu terjadi karena kufur nikmat. Dan kufur nikmat itulah yang menyebabkan nikmat itu lenyap. Bukankah potensi pendengaran, penglihatan, dan hati yang Allah berikan kepada kita harus kita syukuri? Dan di antara cara mensyukurinya adalah menggunakannya untuk memperbanyak pengetahuan yang tadinya belum tahu menjadi tahu. Allah berfirman,
“Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan, dan hati agar kamu bersyukur.” (QS. an-Nahl: 78).
Banyak faktor yang memicu berpalingnya mereka dari nikmat. Alasan sibuk bekerja, ingin santai, dan berleha-leha, juga kesalahan asumsi bahwa belajar itu hanya sarana untuk mencari pekerjaan. Namun inti dari banyak sebab di atas sekaligus menjadi pemicu yang paling dominan adalah faktor “dunuwwul himmah', rendahnya citacita.
Setelah membaca paparan ini, tidak selayaknya kita posisikan diri sebagai orang dengan tipe pertama yang disebutkan oleh al-Farra'. Merasa sebagai orang yang tidak berpotensi dan sudah berjuang secara maksimal. Dengan sikap ini, bisa jadi kita justru membunuh potensi diri dan masuk dalam kriteria tidak mengenali nikmat apalagi mensyukurinya. Bukankan jenis kecerdasan itu banyak ragamnya?
Maka, bagi yang melihat pada dirinya ada tanda-tanda keunggulan dan kecerdasan, baik secara umum maupun khusus tak selayaknya berpaling dari ilmu. Atau, dia akan mengenyam kerugian yang besar. Seperti yang dikatakan Imam asy-Syafi'i, “Barang siapa yang tidak pernah merasakan rasa pahitnya mencari ilmu, niscaya akan mengenyam pahitnya menjadi orang bodoh sepanjang hayatnya." Wallahu a'lam.
■ Dikutip dari Buku MUSLIM HEBAT Karya Ustadz Abu Umar Abdillah
Komentar
Posting Komentar