MISKIN HARTA KAYA CITA CITA


MISKIN HARTA, KAYA CITA-CITA 

Kemiskinan, sulitnya ekonomi atau status sosial yang menengah ke bawah kerap dijadikan alasan untuk pasrah dengan kebodohan, atau cukup dengan ilmu yang pas-pasan. Tak mampu membeli buku, tak ada transportasi untuk mendatangi kajian, atau malu kepada sesama penuntut ilmu karena rendahnya status sosial. 

Tapi, orang yang tinggi tingkat syukurnya kepada Allah, selalu optimis untuk maju. la tak rela, miskin harta menjadi penyebab miskinnya ilmu dan keutamaan. Baginya, kemiskinan yang hakiki adalah miskin harapan dan cita-cita, juga miskinnya hati untuk bersyukur, dan miskinnya motivasi untuk menuntut ilmu, berjuang dan beramal. 

TELADAN GENERASI PILIHAN 

Faktanya, terlalu banyak contoh untuk diketengahkan. Para ulama yang berangkat dari anak yatim, miskin, bahkan berstatus budak atau anak seorang budak, toh mampu mencapai derajat ulama yang menjadi rujukan orang-orang di zamannya maupun generasi sesudahnya. 

Di kalangan shahabat ada Abdullah bin Mas'ud radhiallahu anhu yang dahulunya seorang budak. Setelah masuk Islam ia rajin belajar kepada Rasulullah. Kecerdasan dan keluasan ilmunya begitu ketara terutama dalam tafsir al-qur'an. Setiap ada satu ayat yang turun, ia mengetahui di mana tempatnya turunnya dan dalam hai apa ayat tersebut turun. Umar bin Khathab yang termasuk ulama senior di kalangan shahabat mengakui hal itu. Ketika Umar melihat kedatangan Abdullah bin Mas'ud dari kejauhan, beliau berkata, “Terpancar cahaya 
ilmu dari orang itu, dari ujung rambut hingga ujung kakinya.”

Di kalangan tabi'in, sangat banyak contohnya. Hasan al-Bashri, misalnya, ia disebut-sebut sebagai tokoh tabi'in yang paling fagih dalam hal halal dan haram. Ayahnya juga seorang budak. Begitupun dengan Sa'id bin Musayyib yang dianggap sebagai ulama yang paling pakar dalam segala disiplin ilmu. Ada juga Atha' bin Abi Rabah. la awalnnya seorang budak, namun karena kecintaannya terhadap ilmu membuatnya mencapai derajat yang sulit ditandingi oleh orang lain. Melihat kesungguhan dan kemampuannya yang mampu mengungguli para ulama di zamannya, sang majikan pun memerdekakannya tanpa syarat. Ia juga disebut-sebut sebagai a'lamut tabi'in fil manaasik, ulama tabi'in yang paling paham tentang manasik. 

ILMU MEMANG BUTUH BIAYA 


  Contoh terakhir adalah Imam Syafi'i. Beliau lahir sebagai anak yatim dan bukan dari keturunan berada. Untuk membiayai belajarnya, sang ibu pernah menggadaikan selendang yang disayanginya. Syafi'i kecil juga harus melayani para santri yang lain, atau semacam menjadi pembantu untuk menutupi biaya belajarnya. Beliau juga sering mengais kertas-kertas di jalan yang masih bisa ditulisi atau bahkan daun dan tulang sebagai media untuk menulis. 

Beliau tidak berdusta ketika menyampaikan bahwa salah satu sarana untuk mendapatkan ilmu adalah dengan dirham (biaya). Seperti yang beliau katakan,
“Saudaraku, engkau tidak akan mendapatkan ilmu (yang memadai) kecuali dengan enam perkara. Akan aku jelaskan kepadamu satu persatu enam perkara tersebut: kecerdasan, keinginan yang besar (untuk mendapat ilmu), mujahadah (kesungguhan), dirham (biaya), bergaul dengan ustadz, dan waktu yang panjang.” 

Benar, biaya memang salah satu sarana untuk mendapatkan ilmu. Tapi, bukan berarti ilmu hanya berpihak kepada orang-orang yang berharta dan kaya raya. Sebab, jika itu yang dimaksud oleh beliau, tentu bertentangan dengan keadaan beliau. Intinya, seberapapun harta yang dimiliki, jangan segan-segan untuk mengalokasikan sebagiannya untuk menuntut ilmu. Jika masih kurang maka harus ditutup dengan kesungguhan, sebagaimana yang dilakukan sendiri oleh Imam asySyafi'i. 

Katakanlah, “Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” Sesungguhnya orang yang berakalah yang dapat menerima pelajaran." (QS. az-Zumar: 9).

 HARTA ITU AKAN DIGANTI 

Hari ini sangat jarang para penuntut ilmu mengorbankan apa yang dimiliki untuk mendapatkan ilmu. Seperti pengorbanan al-Bukhari ketika harus menjual rumahnya demi memburu sebuah hadits. Adakah sekarang yang menjual rumahnya, tanahnya atau kendaraannya untuk membeli buku misalnya? Betapa beratnya mengeluarkan harta untuk suatu manfaat yang tidak instan seperti ini. Tapi, bagi orang cerdas dan beriman, ia yakin bahwa apa yang ia keluarkan tak akan sia-sia, Allah akan menggantikan apa yang telah ia korbankan, selain ribuan faedah yang pasti dia raih karena pengorbanannya, 

“Dan apa saja yang kamu nafkahkan, maka Allah akan menggantinya dan Dia lah Pemberi rezeki yang sebaik baiknya.” (QS. Saba': 39). 

Adakah kita mendengar bahwa Imam asy-Syafi'i atau al-Bukhari akhirnya bangkrut dan miskin lantaran banyak mengeluarkan biaya demi meraih ilmu? Sama sekali Anda tak akan menemukan kisah seperti itu. Wallahul muwaffiq.

LEMAH HAFALAN, BUKAN SIFAT BAWAAN 

Banyak kisah orang-orang istimewa di kalangan ulama, hampir selalu disebutkan sisi kuatnya hafalan. Usia dini yang mampu menghafal al-Gur'an, juga banyaknya hadits yang mampu dihafalkan. Sebagian orang menyimpulkan, itu adalah kemampuan bawaan. Lalu dijadikan alasan untuk pamit dari menghafal al-Qur'an dan hadits hadits Nabi shalallahu alaihi wasallam. 

Apalagi yang telah trauma dengan kegagalan dalam hafalan, baik sulitnya menjalani proses menghafal, maupun menjaga apa-apa yang telah dihafalkan. Ketika hafalan menginjak juz 29, apa yang dihafal dari juz 30 berangsur lenyap. Atau ketika mampu menghafal 5 hadits, sepuluh hadits lain yang tadinya telah dihafal tiba-tiba terhapus dari memori. 

Sejatinya, faktor kesungguhan dan keseriusan lebih dominan mewarnai kecerdasan orang-orang pilihan. Imam Tirmidzi yang sanggup mengulang empat puluh hadits lebih dengan sekali dengar, tdak serta merta mendapatkan. Juga Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah, yang mampu menghafal setiap hadits yang telah ditulisnya. Pun juga ulama lain yang dikenal kuat hafalannya, mereka menuai hasil setelah melalui proses panjang. 

BANYAK MENGULANG 

Yang kita mau, sekali baca hafal, sekali dengar langsung tersimpan, dan tak hilang kemudian. Padahal, ulama sekaliber Imam al-Bukhari yang begitu hebat hafalan haditsnya, memberikan resep 'sederhana' ketika ditanya tentang obat lupa. Beliau menjawab "Dengan terus mengulang membaca buku.” Jawaban ini besar kemungkinan merupakan rahasia awetnya hafalan beliau. Ya, banyak mengulang. Beliau tidak memberikan resep yang aneh-aneh. Intinya adalah kesungguhan dan kesabaran untuk mau belajar. Termasuk di dalamnya menggunakan sarana yang menunjang kemudahan untuk menghafal sesuai dengan potensi masing-masing. Setiap orang memiliki sisi lemah, tapi memiliki kelebihan di sisi yang lain. Ada yang lebih mudah menghafal dengan cara mengulang-ulang membaca, ada yang lebih mudah jika dengan mendengar, dan ada lagi yang merasa lebih cepat 'nyanthol" jika disertai dengan menulis sesuatu yang hendak dihafal. 

Seperti Ibnu Taimiyah di saat masih kecil. Seseorang yang mengajarkan hadits kepada beliau memintanya untuk menulis hadits, lalu menghapusnya. Selanjutnya beliau diminta mengulang apa yang tadi dihapus. Beliaupun mendapatkan banyak hafalan dengan cara seperti ini. Bisa pula kita menggabungkan semua cara tersebut. Alhamdulillah, sekarang ada kemudahan dari sisi sarana untuk menghafal, seperti kaset dan rekaman yang bisa kita aktifkan kapan pun kita mau, berapa kalipun kita ingin. Jadi mata membaca, tangan menulis, lalu telinga bisa mendengar berulang-ulang. 

BANYAK TAUBAT DAN MENJAUHI DOSA 

Jika kita merasa lemah hafalannya, atau sulit dalam merekam Ilmu yang kita dengar dan kita baca, masih ada cara manjur untuk meng-upgrade hafalan. Yakni dengan menjauhi maksiat. 

Mernang apa hubungan antara maksiat dengan ilmu yang didapat? Sangat erat. Paling tidak, itulah yang disimpulkan oleh banyak ulama. Secara tegas sahabat Abdullah bin Mas'ud radhiallahu anhu berkata, “Sungguh saya menduga kuat, seseorang yang lupa akan ilmu yang telah ia ketahui, disebabkan oleh dosa yang ia lakukan." 

Maksiat adalah musuh ilmu syar'i, Ilmu adalah cahaya sedangkan dosa bisa mernadamkannya. Karenanya, tatkala Imam Malik takjub akan kecerdasan dan kekuatan hafalan Imam Syafi'i, beliau berpesan, 

“Sesungguhnya aku melihat Allah telah memancarkan cahaya (ilmu) di hatimu, maka jangan padamkan ia dengan gelapnya maksiat.” 

Imam Syafi'i juga manusia. Dalam perjalanan hidupnya juga pernah mengalami masa-masa krisis. Saat dimana beliau merasakan tumpulnya hafalan, sulitnya mencerna ilmu. Itikad baik beliau mendorongnya untuk berkonsultasi kepada ustadznya, Waki' bin alJarah, gerangan apa yang membuat hafalan beliau begitu lambat. Sang ustadz hanya menyarankan satu solusi saja, “Bertaubatlah!" Maka Imam Syafi'i mengingat-ingat kesalahan yang ia lakukan, lalu bertaubat. Maka hafalannya pulih seperti sedia kala. Beliau ungkapkan kegembiraan beliau dalam syairnya, “Aku mengadu kepada Waki' akan buruknya hafalanku. lapun menunjukkan kepadaku untuk Meninggalkan maksiat. Karena ilmu adalah cahaya, sedang cahaya Allah tidak diberikan kepada pelaku maksiat." 

Nah, siapkah kita mengakui, bahwa lemahnya hafalan kita disebabkan oleh banyaknya dosa yang kita lakukan? Mungkin mata kita yang sering melihat apa-apa yang semestinya tak boleh kita lihat. Telinga kita mendengar apa-apa yang tidak layak kita dengar. Perut kita terisi sesuatu yang tidak boleh kita makan.
 Faktor lain yang menunjang kemudahan hafalan adalah dengan mengamalkan ilmu yang kita ketahui dan kita hafal, niscaya Allah akan memberikan kemudahan untuk menambah ilmu. Allah berfirman: 

“Dan Allah akan menambah petunjuk kepada mereka yang telah mendapat petunjuk.” (QS. Muhammad :19) 

Syeikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin berkata tentang ayat ini, “Maka setiap seseorang mengamalkan ilmunya, niscaya Allah akan menambahkan kepadanya hafalan dan kefahaman.” Wallahu a'lam. 

IMAM AL-BUKHARI YANG BEGITU HEBAT HAFALAN HADITSNYA, MEMBERIKAN RESEP "SEDERHANA KETIKA DITANYA TENTANG OBAT LUPA BELIAU MENJAWAB, "DENGAN TERUS MENGULANG MEMBACA BUKU

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

LEUKIMIA DIDEPAN MATA (BAG.3)

GADGET DAN ANAK MUDA (BAG.2)

PENGARUH MAKANAN TIDAK SEHAT (BAG.2)