POTENSI TERASAH MESKI SIBUK DENGAN MA'ISYAH

POTENSI TERASAH MESKI SIBUK DENGAN MA'ISYAH
Alasan klasik untuk menghindar dari belajar adalah kesibukan mencari ma'isyah (bekerja red). Seakan yang diwajibkan belajar itu hanya anak-anak sekolah dan yang masih kuliah, selebihnya hanya fokus mencari nafkah. Sehingga banyak potensi yang mandeg dan tak berkembang. Baik dalam seluruh cabang ilmu syar'i, maupun ilmu duniawi yang berguna memberikan kemaslahatan umum kaum muslimin. Padahal telah jelas spirit Islam yang menghasung umatnya belajar sepanjang hayat. Itu pula yang dilazimi oleh tokoh-tokoh Islam sepanjang zaman.
Seperti Imam Ahmad tatkala ditanya, “Sampai kapan Anda membawa tinta (untuk belajar)” Beliau menjawab, “Ma'al makhbarah ilal magbarah,” bersama tinta sampai ke liang lahat. Seorang ulama tafsir terkemuka, Ibnu Jarir ath-Thabari juga tak meninggalkan belajar meski sakit hingga dekat sekali dengan ajal beliau. Abul Wafa' mengutarakan bahwa semangat belajarnya di usia 80 tahun lebih menggebu dibanding saat umur 20 tahun. Dan, masih banyak lagi.
BEKERJA ITU HARUS, TAPI...
Memang tak dipungkiri bahwa mencari nafkah adalah keharusan, apalagi bila menjadi tulang punggung keluarga. Indikasi ayat, “fantasyiruu fil ardhi wabtaghuu min fadhlillah...” juga menunjukkan keharusan mencari karunia dari Allah. Tapi, ini tidak menggugurkat tugas lain yang menuntut untuk disediakan waktu, harta, tenaga da'! pikiran sesuai porsinya.
Hal yang tidak boleh dilupakan bahwa job paling utama dalam hidup kita sebagai 'pegawai'nya Allah. Sebuah posisi yang sangat mulia dan paling bergengsi dibanding menjadi karyawan di perusahaan manapun.
Nabi bersabda,
“Dan apabila Allah menghendaki kebaikan bagi seorang hamba, maka Allah akan mempekerjakannya sebelum dia mati.” Para sahabat bertanya, “Ya Rasulullah, bagaimana cara Allah mempekerjakan seorang hamba?" Beliau menjawab, “Dia memberikan taufik kepada hamba-Nya untuk beramal Shalih, kemudian Dia mencabut nyawanya dalam keadaan seperti itu.” (HR Ahmad)
Setiap orang yang memiliki cita-cita luhur dalam hal ilmu dan amal tentu akan memperhitungkan betul bahwa ma'isyah yang digelutinya dipastikan tidak menganggu cita-cita luhurnya. Bahkan menjadikannya sarana yang bisa mengantarkan kepadanya. Tak hanya mempertimbangkan besarnya pendapatan lalu mengesampingkan kemaslahatan lain.
Agar potensi ilmu, ketrampilan, dan amal terus bisa meningkat, setidaknya ma'isyah yang kita geluti memenuhi tiga kriteria:
Pertama, hendaknya menghasilkan rezeki yang halal, bukan syubhat apalagi haram. Karena pendapatan yang halai akan mengundang keberkahan, banyak kemanfaatan dan aman tatkala menghadapi pertanyaan di akhirat, “wa 'an maalihi min aina iktasabahu?” dan darimana harta didapatkan? Harta yang halal juga menjadi 'pengasah' ketajaman doa, senjata yang paling ampuh untuk meraih kemasalahatn di dunia dan akhirat.
Kedua, hendaknya pekerjaan yang kita geluti tidak menyebabkan ibadah menjadi terlantar. Karena sekali lagi, tugas utama kita adalah menjadi “pegawai'nya Allah. Alangkah indahnya pemandangan yang pemah dilihat oleh sahabat Abdullah bin Mas'ud di masa beliau. Tatkala beliau melihat orang-orang yang di pasar bergegas menutup dagangannya dan segera menuju masjid saat adzan dikumandangkan. Lalu beliau berkata, “Mereka inilah, orang-orang yang dimaksud oleh Allah dalam firman-Nya,
“Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh pemiagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingat Allah, mendirikan shalat, dan membayarkan zakat.” (QS. an-Nuur: 37)
AGAR POTENSI ILMU BISA BERKEMBANG
Pertimbangan yangtidak kalah penting adalah hendaknya ma'isyah yang kita geluti bisa menjadi wadah dan sarana untuk mengembangkan potensi pengetahuan yang berguna untuk kemaslahatan umat. Atau minimal tidak terhalangi untuk tetap bisa mempelajari ilmu-ilmu syar'i secara berkesinambungan.
Seseorang yang menghabiskan umur untuk bekerja, tanpa ada tuntutan ide, pengetahuan, atau ketrampilan yang berkembang pengetahuannya akan beku, Apalagi bila tidak ada kesempatan belajar di sela-sela waktunya saat bekerja. Mungkin ini menjadi satu hikmah dari jawaban Nabi tatkala ditanya, “Wahai Rasulullah, pendapatan manakah yang paling baik?” Beliau menjawab,
“Hasil pekerjaan seseorang dangan tangannya sendiri, dan setiap perniagaan yang baik." (HR Ahmad, at-Thabrany, al-Hakim, dan dinyatakan sebagai hadits shahih oleh Syekh al-Albany)
Dalam konteks kekinian, yakni orang membuat suatu produk halal atau berjual beli barang yang halal. Namun ini juga tidak berarti profesi yang lain itu buruk atau tidak baik. Namun dari sisi "kemerdekaan' dalam mengatur waktu dan kebutuhan, secara umum keduanya relatif lebih berpeluang.
Wal hasil, selagi pekerjaan itu halal, lalu kita masih memiliki kesempatan untuk mengasah potensi, meningkatkan ilmu syar'i dan pengetahuan, terjaga agamanya, serta bisa berkiprah dalam dakwah dan iqamatuddin, mudah-mudahan itu masuk dalam kategori ma'isyah yang baik dan diberkahi. Jika pilihan ideal itu belum ditemukan, tantangannya di luar kerja harus menyisihkan waktu untuk melazimi diri sebagai orang yang menjadi “pegawai'nya Allah, wallahul muwaffiq.
HENDAKNYA MAISYAH YANG KITA GELUTI BISA MENJADI WADAH DAN SARANA UNTUK MENGEMBANGKAN POTENSI PENGETAHUAN YANG BERGUNA UNTUK KEMASLAHATAN UMAT ATAU MINIMAL TIDAK TERHALANGI UNTUK TETAP BISA MEMPELAJARI ILMU
Komentar
Posting Komentar