Sejarah Thibbun Nabawi
Thibbun nabawi adalah istilah yang dikenal jauh setelah era kenabian. Ragam riwayat hadis seputar pengobatan baru cukup populer pasca era kodifikasi hadis., sehingga thibbun nabawi ini banyak merujuk pada kitab-kitab hadis yang telah terbukukan. Dengan asumsi bahwa teks hadis menjadi referensi sejarah terkait aktivitas ibadah atau fenomena yang telah atau masih berlangsung, maka hadis-hadis babagan pengobatan ini telah dilakukan di masa Nabi dan masih digunakan saat hadis itu dihimpun.
Beberapa sejarawan, seperti Manfred Ullmann dalam Islamic Medicine misalnya, menyatakan bahwa riwayat seputar cara berobat Nabi dalam kitab-kitab hadis tidak menunjukkan adanya kebaruan. Nabi pada dasarnya hanya melanjutkan cara berobat yang sudah populer di zaman beliau, dari habbatus sauda’, susu unta, madu, kurma, hingga praktek bekam dan ruqyah. Termasuk yang kontroversial seperti kencing unta. Pembaruan Nabi untuk pengobatan banyak pada aspek keimanannya, yang kentara dalam beragam riwayat lafal doa untuk ruqyah.
Pengertian dan konsep thibbun nabawi bukan berasal dari pribadi Nabi. Di antara karya-karya awal seputar kitab yang memperkenalkan thibbun Nabawi adalah karya Abu Nuaim al-Isfahani, dengan judul At-Thibbun Nabawi. Demikian disebutkan oleh Cyril Elgood, berdasarkan data manuskrip yang ia miliki.
Kitab At-Thibbun Nabawi karya Abu Nuaim berisi hadis-hadis seputar cara berobat yang memiliki sanad kepada Nabi. Selain mencantumkan hadis, Abu Nuaim juga menyertakan beragam riwayat dari banyak ulama generasi sebelumnya. Abu Nuaim al-Isfahani ini diperkirakan hidup sekitar akhir abad ke-10 Masehi. Menurut Cyril Elgood, ia menjadi salah satu pelopor istilah At–Thibbun Nabawi dan banyak diikuti oleh ulama setelahnya. Sekali lagi, Abu Nuaim menyusun isi kitab At-Thibbun Nabawi berbasis riwayat hadis dan ulama. Susunan tersebut menunjukkan bahwa periwayatan hadis di masa hadis Abu Nuaim masih berkembang, dan ahlul hadits diakui masyarakat.
Bicara thibbun nabawi, kita tak bisa lepas dari nama ini: Ibnu Qayyim al Jauziyyah. Para praktisi dan pelaku thibbun nabawi, barangkali dengan afiliasi manhaj Salafi, banyak merujuk pada karya sosok ini.
Karya Ibnu Qayyim yang dirujuk oleh para penganjur kedokteran Nabi era sekarang adalah at-Thibbun Nabawi – judulnya seperti karya Abu Nuaim. Karya ini sudah banyak diterjemahkan dalam bahasa Indonesia. Penerjemahan ini dirujuk sebagian masyarakat muslim Indonesia yang meyakini bahwa Nabi memiliki pengetahuan juga kemampuan sebagai penyembuh dan tabib di samping mandat kerasulan beliau.
Ibnu Qayyim al Jauziyah wafat pada 750 H/sekitar awal abad ke 11 M, dan merupakan salah satu ulama penganut mazhab Ahmad bin Hanbal yang paling kesohor. Kitab at-Thibbun Nabawi karya beliau disusun berdasarkan riwayat hadis dan keterangan ulama, dan menyitir pula pengetahuan-pengetahuan yang sudah berkembang kala itu.
Peneliti sejarah kedokteran banyak mengajukan hipotesis bahwa konsep thibbun nabawi yang dipopulerkan para ulama adalah usaha “melawan” ilmu kedokteran yang berkembang luas di masa mereka. Ilmu kedokteran yang dirujuk oleh para dokter saat itu merujuk dari karya-karya filsuf Yunani seperti Hipokrates dan Galen, dan para peneliti ini menduga bahwa para ulama yang mengajukan konsep thibbun nabawi tidak sepakat dengan infiltrasi keilmuan non-muslim dalam tradisi Islam.
Ulama pun merespon dengan gagasan pengobatan merujuk pada Al Quran atau hadis Nabi, yang memiliki legitimasi fiqih dan agama yang lebih kuat. Praduga tersebut berdasarkan pada adanya ketegangan intelektual ahlul hadits dan ilmuwan lain yang banyak belajar ilmu-ilmu di luar agama, khususnya filsafat yang sedang marak.
Asumsi seperti itu menunjukkan seakan para ilmuwan dan ulama muslim seperti berseteru. Padahal, sejarah menunjukkan bahwa orang seperti Ibnu Rusyd atau Ibnu Nafis adalah orang-orang yang punya kecakapan ilmu syariat, namun juga dipandang dalam ilmu-ilmu kealaman dan filsafat.
Alih-alih berseteru, munculnya thibbun nabawi agaknya adalah cara interaksi para faqih dan muhaddits untuk merespon perkembangan ilmu kedokteran yang merujuk tradisi Yunani. Bahasa kerennya: dalam satu wilayah epistemik pengobatan Yunani/Helenistik, mereka mewacanakan diskursus pengobatan tersendiri. Para ulama ini sebenarnya tidak serta merta menolak ilmu yang sedang tren, namun mengusahakan agar sumber-sumber agama Islam bisa “mendampingi” pengetahuan kedokteran dan tetap teramalkan
Komentar
Posting Komentar