KERJA KERAS(BAG.2)


📝 Kurniaw4n_85

بسم الله الرحمن الرحيم


    Hari ini banyak orang bekerja mencari dunia hanya untuk dunia. Manusia berlomba lomba berangkat petang pulang petang, untuk mencari kebahagiaan hidup didunia. Mungkin sebagian orang ketika ada tetangganya memiliki mobil atau barang barang mewah maka akan terbetik dihatinya aku juga bisa beli.

   Suasana hidup dikota memang beda dengan kehidupan didesa. Persaingan hidup dikota terasa lebih tajam ketimbang dipedesaan. Hidup didesa sayur sayuran mungkin masih bisa petik dibelakang atau dihalaman rumah; tinggal beli ikan asin sudah nikmat luar biasa untuk dimakan.

   Dikota semua kebutuhan pokok harus dibeli dipasar/swalayan kalau tidak mau ribet tinggal beli lauk mateng; praktis tinggal konsumsi. Belum lagi persaingan untuk mewah mewahan rumah tinggal sangat kental terasa sekali persaingannya.

    Sejatinya kalau memang semua kebutuhan makan, minum, tempat tinggal adalah dalam rangka menunjang aktifitas ibadah kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala tentu diperbolehkan syariat. Akan tetapi kalau kegiatan tersebut hanya untuk memuaskan hawa nafsu tentu tidak ada bedanya dengan binatang. Benar sekali kata Buya Hamka: "Kalau hidup sekedar hidup, babi dihutan pun hidup. Kalau bekerja sekedar bekerja, kera juga bekerja."

   Ada seseorang sangking sibuknya bekerja; jualannya laris luar biasa sampai meninggalkan sholat wajib. Ketika pekerjaan, jabatan, uang, pasangan, atau dunia lebih diutamakan daripada kewajiban beribadah kepada-Nya; hakikatnya mereka sedang menjadi hamba apa yang sedang diperjuangkan. Dan hal ini bisa merusak keimanan sebagaimana sabda Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wassalam: 

Dari Abu Musa Al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ أَحَبَّ دُنْيَاهُ أَضَرَّ بِآخِرَتِهِ وَمَنْ أَحَبَّ آخِرَتَهُ أَضَرَّ بِدُنْيَاهُ فَآثِرُوا مَا يَبْقَى عَلَى مَا يَفْنَى

“Siapa yang begitu gila dengan dunianya, maka itu akan memudaratkan akhiratnya. Siapa yang begitu cinta akhiratnya, maka itu akan mengurangi kecintaannya pada dunia. Dahulukanlah negeri yang akan kekal abadi (akhirat) dari negeri yang akan fana (dunia).” (HR. Ahmad, 4:412. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth mengatakan bahwa hadits ini hasan lighairihi.)

Dalam surat Adz-Dzariyat juga disebutkan,

قُتِلَ الْخَرَّاصُونَ (10) الَّذِينَ هُمْ فِي غَمْرَةٍ سَاهُونَ (11)

“Terkutuklah orang-orang yang banyak berdusta, (yaitu) orang-orang yang terbenam dalam kebodohan yang lalai.” (QS. Adz-Dzariyat: 10-11)

Yang dimaksud “alladzina hum fii ghomroh” adalah mereka buta dan jahil akan perkara akhirat. “Saahun” berarti lalai. As-sahwu itu berarti lalai dari sesuatu dan hati tidak memperhatikannya. Sebagaimana hal ini ditafsirkan dalam Zaad Al-Masir karya Ibnul Jauzi.

   Hari ini bisa kita saksikan bagaimana seseorang bisa lalai dari kewajibannya sebagai seorang hamba. Rombongan suporter demi kecintaannya terhadap klub bola bisa meninggalkan kewajiban, seorang buruh meninggalkan kewajiban karena pekerjaan, atau seorang anak buah suatu lembaga yang tidak pernah berfikir lagi perintah dari bosnya apakah melanggar syariat atau tidak.

    Para sahabat yang kaya adalah para pedagang dan pengusaha sukses, kesuksesan dan kekayaan mereka tidak membuat lalai akan kewajiban syariat dan kehidupan akhirat. Justru yang terjadi adalah dengan kekayaannya menjadikan Islam dan kaum muslimin menjadi kuat. 

Kisah Sahabat Nabi Abdurrahman Bin Auf mengajarkan kita tentang pentingnya keberkahan dalam kehidupan, yang tidak terletak pada banyaknya harta, tetapi pada bagaimana kita membelanjakan harta tersebut di jalan Allah. Pada saat Perang Tabuk, misalnya, beliau memberikan kontribusi besar dengan menyumbangkan 200 uqiyah emas, jumlah yang sangat besar pada waktu itu. Dengan sumbangan ini, Kisah Sahabat Nabi Abdurrahman Bin Auf menunjukkan bagaimana beliau menggunakan kekayaannya untuk mendukung dakwah dan perjuangan Islam.

Namun, meskipun beliau kaya, Abdurrahman bin Auf hidup dengan sederhana. Beliau tidak pernah membiarkan kekayaan mengubah sifat rendah hati dan kesederhanaannya. Hal ini menjadi teladan bagi umat Islam bahwa dunia ini hanyalah sementara, dan kekayaan yang dimiliki harus digunakan untuk tujuan yang lebih mulia.

    Semoga kita bisa meneladani para sahabat terkait dengan harta, serta diberi kemudahan menginfaqkan hartanya untuk tegaknya Islam dan kemenangan kaum muslimin diakhir zaman.
---------------------------------------
● Pasar Porong Sidoarjo,  07.07 Selasa 30 Syawal 1446 H./29 April 2025

Komentar

Postingan populer dari blog ini

LEUKIMIA DIDEPAN MATA (BAG.3)

GADGET DAN ANAK MUDA (BAG.2)

PENGARUH MAKANAN TIDAK SEHAT (BAG.2)